Saat SMP Imajinsainya tentang Nabi Isa AS, membawa Prana Tanjudin, 40 tahun, kepada pertanyaan: Apa hanya Nabi Isa AS yang bisa menghidupkan orang mati, menyembuhkan orang sakit, makan sepotong roti dan minum dari segelas untuk orang banyak? “apa tidak ada orang lain yang bisa berbuat seperti Nabi Isa AS,”. Pertanyaan itu memenuhi benaknya sebagai input dari bacaannya mengenai Nabi Isa AS yang diperolehnya dari sebuah gereja, untuk menjawabnya tidak bisa gratis harus beli.
Pada tahun 1981, ketika naik kelas tiga SMP, ia dipindahkan oleh ayahnya, melanjutkan sekolah diyogya. Pamannya yang tengah kuliah di Universias Gajah Mada, mendaftarkan dirinya ke SMP negeri 3, yang tidak jauh dari tempat kostnya. Untuk memudahkan semua urusan, didata siswa ia ditulis beragama Islam. Konsekuensinya, ketika diterima disekolah itu, ia harus mengikuti pelajaran agama Islam, termasuk mengikuti shalat jumat.
Untuk mengejar ketinggalan dalam pelajaran agama Islam, terutama tentang cara shalat, ia kursus kilat kepada seorang teman pamannya. Berhubung memang tidak pernah tahu tata cara shalat, teman pamannya berpesan, “janganlah shalat sendiri, melainkan berjamaah. Kalau kamu lihat semua orang sudah berdiri setelah qamat, ikuti saja apa yang mereka lakukan.”
Hal itu baru terungkap ketika ia mengikuti ujian teori dan praktek agama, namun tidak mengurangi simpati guru agamanya. Ia bahkan memberi angka delapan dijazahnya. “saat ini kamu tidak banyak mengerti dna memahami Islam, tetapi saya ykin suatu saat nanti kamu akan bisa mengerti Islam lebih baik dari sekarang,” kata guru agama itu.
Tahun 1983, ketika bangun tidur di pagi hari ketika hari jumat, pikirannya galau, mengaku sebagai seorang Islam, tapi kok tidak serrius mengikutu Islam. Shalat pun hanya sekali yaitu pad ahari jumat. Sejak hari itu, ia bertekad untuk mengerjakan shalat fardhu. “adzan kan beberapa kali, kenapa aku shalat hanya sekali?” pikirnya.
Meskipun sudah menjalankan shalat fardhu beberapa lama, ia tetap tidak berani pergi kemasjid dekat rumah, termasuk pada hari jumat. Keberaniannya baru muncul ketika seorang tetangga mengajaknya shalat jumat. Bersama si tetangga ia pun melangkah kemasjid melakukan shalat jumat.
Akhir 1984, ketika ia berada di Jakarta, seorang temannya berusaha mengajaknya kembali keagama kristen. Caranya mengajak dialog tentang agama, sehingga ia merasa tersudut. Sepulan dari Jakarta, pilihannya untuk masuk Islam semakin mantap. Dan dengan kesadaran penuh ia berdoa mohon petunjuk agar tidak tersesat. “ ya Allah yang maha pengasih, maha penyayang, yang maha mengetahui, tunjukilah jalan yang harus hamba ikuti agar tidak tersesat.”
Suatu malam, ia bermimpi diajak seorang lelaki kesuatu tempat. Disana telah berkumpul sekelompok orang berbaju putih. Orang itu meminta agar ia mengikuti kata-katanya. Ternyata, yang mereka ucapan adalah syahadat. Maka, sempurnalah imannya. Taklama kemudian, ia sujud syukur sembari mengucapkan, “ya Allah inilah petunjuk yang hamba tunggu. Mudahkanlah hamba dalam mempelajari agama yang telah Engkau beri petnjuk ini.”
“Barangkali begitulah cara Tuhan membawa saya kepada agama Islam,” tutur Prana sambil tersenyum. Yang pasti sejak itu ia mantap menunaikan shalat lima waktu, meski tidak mengikrarkan didepan ustadz, kiai atau ulama.
ANALISA
Prana mengalami masa tenang pertama yaitu ketika ia bersikap acuh tak acuh saat ia didata beragama islam padahal ia sendiri adalah beragama kristen. Itu membuktikan bahwa ia tidak memperdulikan masalah agama, bahkan bersikap acuh tak acuh terhadap agama. Keudian masa pada saat ia mulai mengalami konflik yaitu ketika bangun tidur di pagi hari ketika hari jumat, pikirannya galau, mengaku sebagai seorang Islam, tapi kok tidak serrius mengikutu Islam. Shalat pun hanya sekali yaitu pad ahari jumat. Sejak hari itu, ia bertekad untuk mengerjakan shalat fardhu. “adzan kan beberapa kali, kenapa aku shalat hanya sekali?” pikirnya. Padahal saat itu ia belum memeluk islam, namun masih hanya islam secara data yang ada disekolah. Hal itu meimbulkan goncangan didalam dirinya berupa apakah ia akan tetap beragama kristen atau mulai menerima agama islam.
Namun setelah masa goncang itu ia mulai melakukan konversi itu sendiri yaitu ketika dengan kesadaran penuh ia berdoa mohon petunjuk agar tidak tersesat. “ ya Allah yang maha pengasih, maha penyayang, yang maha mengetahui, tunjukilah jalan yang harus hamba ikuti agar tidak tersesat.” Ini menunjukkan bahwa dengan kemaunnya sendiri sebenarnya ia memilih islam sebagai agamanya. Ia berdoa minta petunjuk agar Allah memberikan petunjuk dan menetapkan bahwa yang didalam hatinya mengenai islam adalah benar, ia minta lebih diyakini Allah. Dan puncak kontrovesinya terjadi ketika Suatu malam, ia bermimpi diajak seorang lelaki kesuatu tempat. Disana telah berkumpul sekelompok orang berbaju putih. Orang itu meminta agar ia mengikuti kata-katanya. Ternyata, yang mereka ucapan adalah syahadat. Maka, sempurnalah imannya. Saat itu ia sudah mendapat kekuatan dan semangat.
Kondisi yang sempat kacau tadi setelah terjadi konversi itu mulai tentam kembali setelah ia memiliki kekuatan dan semangat yaitu ditunjukkan ketika Taklama setelah konversi, ia sujud syukur sembari mengucapkan, “ya Allah inilah petunjuk yang hamba tunggu. Mudahkanlah hamba dalam mempelajari agama yang telah Engkau beri petnjuk ini.” Inilah yang menunjukkan dan ketenangannya setelah menjadi islam. Inilah tahap keempat.
Selanjutya tahap kelima yaitu ekspresi konversi setelah ia melakukan konversi ditunjukkan dengan ia mantap menunaikan shalat lima waktu. Itulah ekspresi ketaatanya terhadap kepercayaan barunya. Karena sebelumnya ia juga sempat melakukannya, namun bukan sebagai ekspresi konversinya, namun sebagai konflik dalam dirinya.
Semua yang dia lakukan berdasarkan faktor-faktor:
1. Adanya pertentangan batin antara agama lama dengan agama barunya. Yaitu ketika ia berdoa agar Allah memberikan petunjuk agar tidak tersesat. Dari kepercayaan yang salah.
2. Pengaruh dari tradisi agama. Yaitu pengaruh dari adzan dan tradisi shalat berjamaah disekolahnya.
3. Ajakan atau sugesti. Yaitu ajakan dari seorang temanya untuk shalat jumat, dan mimpinya yang akhirnya ia melakukan konversi juga lewat mimpinya dengan diajak oleh seseorang berbaju putih tersebut untuk mengucaokan syahadat.
4. Faktor emosi. Yaitu keadaan jiwanya yang tak pernah tenang pada saat ia masih dalam keadaan mencari apa yang terbaik yang akan dipilih.
5. Kemauan. Ditunjukkan pada saat ia mau diajak orang yang berbaju putih tersebut untuk mengucapkan syahadat